Rabu, 03 Februari 2010

Analisis Insentif Kredit Bunga Tinggi

Kredit menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. UU No. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka watu tertentu dengan pemberian bunga. Jika seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga tagihan.
Kredit yang akan kita bahas merupakan pemberian fasilitas pinjaman tunai atau non tunai yang diberikan oleh lembaga pembiayaan bagi industri properti. Industri properti memiliki keterkaitan erat dengan perbankan. Setelah pasca krisis diperkirakan telah terjadi perubahan perilaku pembiayaan dalam industri proprti. Kegiatan di bidang properi dapat dijadikan sebagai indikator seberapa aktifnya kegiatan ekonomi secara umum yang sedang berlangsung.
Dengan keadaan ekonomi yang cukup sulit, para pemeran di industri properti berlomba-lomba memberikan penawaran insentif kepada konsumen, khususnya kelas menengah ke bawah agar tertarik selama suku bunga tinggi. Sebenarnya ini adalah trik-trik pemasaran para pengembang agar penjualan dapat terus berjalan stabil di tengah tingginya suku bunga KPR.
Pembelian sebuah hunian baru pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua macam cara, yaitu dengan tunai maupun kredit. Jika konsumen memiliki dana yang cukup, maka ia dapat membelinya secara tunai. Permasalahannya adalah kebanyakan keluarga yang merupakan kelas menengah ke bawah, tidak mampu membeli secara tunai. Jumlah uang yang mereka miliki mungkin hanya berkisar 20 hingga 40 persen saja. Oleh karena itu, mereka akan lebih memperhitungkan keuntungan-keuntungan yang akan didapat dari kredit pemilikan rumah.
Pesaingan yang ketat antar para developer pun akan membuat para pengembang untuk lebih giat melakukan penawaran-penawaran insentif untuk menarik konsumen selama tingginya suku bunga.
Insentif yang memotivasi menurut Robert N Anthony, John Dearden dan Norton M Bedford, Teori Pengharapan mengatakan bahwa motivasi yang memengaruhi perilaku ditentukan oleh (1) keyakinan atau harapan-harapan seseorang akan hasil yang mungkin diperoleh dengan berperilaku tertentu, (2) ketertarikan seseorang akan hasil tersebut, dilihat dari kemampuan hasil ini untuk memuaskan kebutuhannya.
Bila bank nasional diibaratkan sebagai manusia, maka manusia itu dipengaruhi baik oleh insentif positif maupun insentif negatif. Insentif positif (imbalan) adalah hasil yang menambah terpuaskannya kebutuhan seseorang. Insentif negatif (hukuman) adalah hasil yang mengurangi kepuasan. Untuk itu, insentif sangat diharapkan mampu meningkatkan motivasi lembaga pembiayaan baik Bank maupun non Bank untuk membuka kran kredit.
Para developer (pengembang) saat ini mengakui kondisi yang cukup berat untuk mempertahankan arus kas bahkan arus kas perusahaan bisa minus jika pengembang teralu lama berdiam dan tidak menggarap proyek baru.
Dalam kasus ‘Mengakali bunga tinggi dengan insentif”, hal ini dapat terjadi diakibatkan oleh bunga KPR (kredit pemilikan rumah) yang tinggi. Subsidi selisih bunga selama satu tahun hingga dua tahun yang diberikan oleh pengembang, merupakan suatu upaya yang cukup berhasil dalam mempertahankan perputaran uang.
Selain subsidi bunga, pengembang menawarkan berbagai program insentif untuk menarik pembeli selama suku bunga tinggi dan promo seperti itulah yang selama ini berhasil menolong arus kas pengembang di tengah krisis yang melanda. Kenaikan beban cicilan dua ratus ribu rupiah sudah sangat terasa bagi kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, penawaran berbagai insentif, dapat menarik pembeli selama tingginya suku bunga.
Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kestabilitas arus kas. Lebih baik mengurangi keuntungan, yang terpenting adalah bagaimana perputaran uang dapat terus berjalan.
Program insentif yang banyak ditawarkan pengembang, jelas cukup menarik konsumen, karena pada dasarnya, konsumen selalu berfikir untuk dapat mencari keuntungan atau kepuasan dengan harga yang tidak terlalu mahal. Sehingga konsumen akan lebih memilih kredit dengan penawaran insentif, contohnya pemberian diskon, skema pembayaran tunai bertahap, hingga program cash back atau jaminan uang kembali.
Dengan kondisi perekonomian saat ini dan ke depan yang diperkirakan masih kurang menggembirakan, kejatuhan dalam kredit properti diperkirakan akan mempengaruhi kondisi perbankan secara keseluruhan. Secara langsung pengaruh tersebut akan terindikasi pada kinerja kredit properti dan secara tidak langsung pada nilai jaminan kredit yang sebagian besar masih dalam bentuk properti. Namun perlu diketahui seberapa besar peran perbankan dalam pembiayaan di sektor properti. Apabila peran perbankan sangat dominan hampir mencakup keseluruhannya, maka dipastikan jatuhnya sektor properti akan berdampak secara langsung dan luas pada perbankan.
Namun, banyak pihak yang menilai, pemberian insentif KPR ini belum tentu akan menggerakan perbankan untuk menurunkan suku bunganya. Pasalnya saat ini, mereka masih menjaga likuiditas di masyarakat supaya tidak macet. Sudah begitu, suku bunga penjaminan dari Bank Indonesia pun masih tinggi sekitar 9,5%. Bila ini belum diturunkan, maka perbankan belum akan mau menurunkan suku bunga KPR.
Saat ini, beberapa perbankan swasta nasional masih menerapkan tingkat suku bunga kredit yang tinggi. Besarannya berkisar antara 14,5% sampai dengan 15%. Padahal BI rate sudah turun sebanyak tiga kali dan saat ini berada di posisi 8,25%. Ha ini dikarenakan oleh beberapa perbankan swasta nasional yang core bisnisnya bukan di KPR. Tapi sudah ada kalangan perbankan swasta yang tingkat suku bunga KPRnya sudah berada di level 13% -14%. Misalnya saja BTN, BRI, Niaga dan Permata.
Selain pengembang, pemerintah juga turut campur tangan dalam mengembangkan berbagai aternatif skema pembeian rumah, terutama untuk rumah swadaya dan rumah bersubsidi. Kementerian Negara Perumahan Rakyat pun sudah menjalin kerja sama dengan Asosiasi Bank Pembangunan Daera untuk mengucurkan kredit perumahan bersubsidi.
Industri properti nasional saat ini tengah menunggu kebangkitan. Beberapa sinyal dan energi positif sudah tampak di depan mata. Pengembang tinggal menunggu berupa penurunan suku bunga KPR ke tingkat yang lebih ideal, yaitu sekitar sepuluh persen. Sejak dampak krisis finansial global melanda Indonesia, penjualan di sektor properti mengalami pemerosotan tajam.
Suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) maupun apartemen sempat menyentuh level yang cukup tinggi, yaitu mencapai hingga delapan belas persen. Praktis bisnis di bidang ini mengalami kesulitan karena lembaga-lembaga pembiayaan memperketat persyaratan pengajuan kredit.
Pengembang saat menantikan dimana suku bunga KPR dapat turun ke suku bunga yang lebih renda. Sejumlah bank telah merespon atas terjadinya penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, yaitu sebesar 25 basis poin ke level 6,75 persen. Langkah ini memberikan harapan besar bagi para pengembang dan calon pembeli hunian terutama di kalangan menengah ke bawah.
PT Bank Tabungan Negara TBK (BTN), bank yang selama ini mendalami di bidang pembiayaan rumah, menurnkan suku bunga menjadi 12,5% hingga 13% per 1 Juli 2009. PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan PT Bank Pan Indonesia (Panin Ban) berani membanting harga untu kredit baru. BCA kini tengah menawarkan KPR dengan suk bunga 12,5% untuk tiga tahun pertama dan Panin Bank mematok harga yang lebih rendah, yaitu 10,8% untuk 1 tahun pertama, uang muka 10%.
Sayangnya, pengembang saat ini belum teralu merasakan dampak penurunan KPR yang berarti sebab, penurunan suku bunga KPR masih dilakukan secara terbatas oleh beberapa bank dan hanya diasakan oleh nasabah bank bersangkutan. Persentase penurunannya pun belum mencapai angka ideal.
Konsumen tengah bersiap kembali membeli hunian begitu suku bunga KPR turun. Namun, penurunan BI rate yang kembali beranjut, calon konsumen memilih untuk menunggu bank untuk menyesuaikan bunga kredit.
Bagi developer kecil maupun kelas menengah yang menggarap hunian dengan skala yang terbatas, bank tetap merupakan nyawa utama. Bank mempunyai peran ganda terhadap bisnis properti. Sebab, selain memanfaatkan KPR dan KPA, developer juga meminjam dana kepada bank bersangkutan untuk modal kerja.
Skema ini banyak dilakukan oleh beberapa developer yang menggarap apartemen dan rumah kelas menengah, serta rumah sederhana bersubsidi. Selama suku bunga tinggi, para pengembang yang menggunakan pola ini yang paling terpukul.
Kondisi tingkat bunga KPR, jika berjalan tetap seperti ini, maka hanya akan dapat membangkitkan properti kelas atas. Kebangkitan properti segmen kelas menengah ke bawah sangat bergantung pada penurunan suku bunga KPR. Padahal kebutuhan hunian dari masyarakat di kelas menengah ke bawah masih cukup tinggi.
Penurunan suku bunga KPR, sebagai amunisi terakhir developer memang masih patut untuk ditunggu. Menunggu perbankan segera berkenan menurunkan suku bunga kreditnya dan memiliki sedikit keberanian untuk menyalurkan kredit untuk sektor-sektor yang membutuhkan.
Mengakali bunga tinggi dengan insentif, cukup dapat menarik pembeli. Konsumen akan lebih tertarik dengan penawaran-penawaran seperi itu. Berbagai macam subsidi yang digelar para pengembang seperti subsidi bunga, diskon, hingga program cash back cukup membantu para konsumen kalangan menengah ke bawah.