Senin, 23 Mei 2011

Konsep “Ekonomi Kerakyatan” yang Menyesatkan

Prof. Buyung Achmad Sjafei, Ph.D


Latar Belakang

Di negeri kita ini sedang berkembang suatu pendapat atau gagasan tentang “ekonomi kerakyatan”, yang berasal terutama dari kalangan politisi dan personil pejabat atau bekas pejabat. Pada dasarnya, pendapat atau gagasan ini berkisar pada bagaimana membangun usaha kecil dan menengah atau yang mereka sebut “usaha mikro” dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. Salah satu “resep” yang mereka kemukakan adalah dengan memberikan kredit pada usaha-usaha kecil dan menengah agar dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh usaha-usaha kecil dan menengah tersebut.

Ideologi Narodnicestwa di Rusia

Narod dalam bahasa Rusia artinya rakyat, narodnicestwa artinya kerakyatan. Narod adalah suatu pengertian yang luas yang mempunyai banyak arti digunakan dalam literatur poltik dan social-filosofis, dalam dokumen-dokumen hukum-negara, konstitusi, dalam deklarasi-deklarasi internasional. Narodnicestwa adalah aliran ideologi dan gerakan masyarakat, yang timbul di Rusia tahun 50-an abad ke-19, yang berubah sifatny, dan bertahan samapai awal abad ke-20. Sumber roh dari narodnicestwa adalah teori-teori sosialisme utopis dari eropa barat. Program pertama dirumuskan oleh A. Gertsen, N. Cernesyebsky, yang inti programnya bahwa Rusia harus berkembang pada jalan nonkapitalistis. Mereka menunjukkan keharusan perubahan revolusioner sistem feodalisme menjadi sosialisme petani berdasarkan pemilikan tanah kolektif, hak demokrasi yang sama, pemerintahan umum bersama. Intinya, Rusia yang masyarakatnya masih feodalistis harus melakukan perubahan-perubahan terutama di daerah pedesaan yang besifat kolektif menjadi masyarakat sosialistis tanpa melalui tahap kapitalistis.

Gagasan ekonomi kerakyatan di Indonesia memang tidak ada hubungannya dengan ideologi narodnicestwa di Rusia. Tetapi gagasan ekonomi kerakyatan, antara lain ingin membantu petani di pedesaan dengan kredit, apakah tidak sama utopisnya dengan ideologi narodnicestwa di Rusia abad ke-19. Di daeah pedesaan di Indonesia, struktur sosialnya makin buruk. Yang dikatakan petani, sesungguhnya mereka tidak lagi punya tanah, dan itu terjadi tidak hanya di pulau Jawa, tetapi di seluruh kepulauan di luar Jawa. Masyarakat pedesaan berubah pekerjaannya menjadi buruh dalam semua sektor yang ada, bergerak dalam sektor informal seperti : bakul, tukang ojek, pedagang keliling, dan lain-lain. Jadi permasalahan kita adalah bagaimana mereformasi struktur sosial di pedesaan yang kondusif untuk menerima pembangunan dan moderenisasi.

Pembangunan di beberapa Negara dan di Indonesia

Jepang menjadi negara industri maju dari masyarakat feodal didahului dengan adanya meji restorasi, di mana para pemudanya menuntut ilmu pengetahuan di barat, melakukan inovasi sosial, dan meniru teknologi barat pada awalnya. Contohnya, Toyota pada mulanya adalah perusahaan tekstil, dan mengirim 5 orang insinyurnya ke perusahaan mobil Amerika Ford. Mereka belajar di pabrik mobil Ford, pulangnya membawa satu mobil untuk dipelajari buat membuat mobil Jepang yang sekarang terkenal dengan mobil Toyota.

Cina, sekarang ini menjadi negara industri maju yang ditakuti oleh pesaing-pesaingnya di negara-negara maju lainnya; sedangkat tingkat pertumbuhan ekonomi teritnggi di dunia. Ini terjadi dengan di dahului oleh apa yang dinamakan “revolusi kebudayaan”. Memang revolusi kebudyaan ada yang menganggap sebagai suatu tragedi kemanusaan, tetapi dia membawa perubahan luar biasa bagi kemajuan Cina.

Indonesia, pembangunan yang dilakukan oleh orde baru dengan membuka seluas-luasnya bagi modal asing untuk melakukan investasi termasuk pada sektor-sektor vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah untuk menutupi APBN melakukan pinjaman asing mencapai lebih dari 30 persen dari setiap APBN, yang berarti bukan lagi sebagai pelengkap. Pinjaman asing ini digunakan untuk membangun prasarana dan sarana ekonomi yang seharusnya dapat dibebankan pada para investor asing. Sehingga kita terbebani hutang luar negeri yang besar. Pembangunan difokuskan pada pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan SDM terabaikan dapat diketahui dari APBN-APBN pada zaman orba untuk pendidikan yang presentasenya kecil. Sehingga kita mengalami indeks pembangunan manusia yang paling rendah. Struktur sosial, terutama di pedesaan tidak disentuh oleh pembangunan, sehingga terjadi proses pauverisasi (pemiskinan) masyarakat di pedesaan. Karena itu krisis perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 tidak pernah pulih samapi saat ini.

Sistem Perekonomian menurut UUD 1945 RI

Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 sebagai konstitusi Republik Indonesia, bukan saja sebagi dasar konstitusional, tetapi merupakan dasar ideologis perekonomian Indonesia. Di mana ayat 1 pada intinya menyebutkan bahwa : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan; ayat 2 : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; ayat 3 : Cabang-cabang perekonomian yang vital yang penting bagi negara dikuasai oleh negara untuk kemakuran rakyat”.

Undang-undang Dasar 1945 RI ini secara operasional merupakan dasar dari sistem perekonomian Indonesia. Sistem perekonomian tidak lain adalah hubungan produksi, yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan : siapa yang memiliki alat-alat produksi? Bila alat-alat produksi dimiliki oleh negara dan masyarakat, maka dikatakan sistem perekonomian sosialistis, sebaliknya bila dimiliki oleh privat maka dinamakan sistem kapitalistis, bila dimiliki oleh negara, masyarakat dan privat maka disebut sistem bauran ( mixed system).

Sistem perekonomian Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945 RI adalah sistem perekonomian bauran, di mana ayat 1 adalah dasar bagi pengorganisasian dan pembangunan usaha-usaha kecil yang dimiliki oleh masyarakat. Indonesia adalah lautan dari usaha-usaha kecil masyarakat sebagai produsen dalam bidang industri, pertanian; dan bidang perdagangan dan jasa-jasa lainnya. Usaha-usaha ini diorganisir dan dikelola berdasarkan azas kekeluargaan antara lain oleh koperasi. Ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945 RI merupakan dasar dari Badan Usaha Milik Negara yang berarti milik seluruh rakyat Indonesia.

Sekarang pertanyaan penting adalah : di mana dasar dari usaha-usaha swasta? Dalam sistem perekonomian Indonesia menurut UUD 1945 RI perusahan-perusahaan swasta diamanatkan untuk menangani bidang-bidang usaha yang produktif guna menunjang pembangunan perekonomian nasional. Sehubungan dengan ini dalam suatu seminar di USSU Puncak pada bulan November 1978, yang dimuat dalam Koran Kompas dan Editorial Kompas, kami mengemukakan bahwa pemerintah terlambat dalam pembangunan perusahaan-perusahaan nasional yang mandiri, sehingga pembangunan terpusat pada peranan pemerintah saja. Ini sangat berbahaya bila suatu saat pemerintah tidak mempunyai kemampuan lagi akibat sesuatu krisis. Apa yang kami kemukakan pada November 1978 itu terbukti setelah terjadi krisis moneter 1997, semua perusahaan-perusahaan yang disebut perusahaan konglemerat adalah keropos.

Jadi dalam sistem perekonomian Indonesia, semua bentuk badan usaha di atas diamanatkan untuk melakukan azas kekeluargaan dalam aktivitasnya, yang mempunyai tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga tercapai kemandirian dalam bidang perekonomian, berkedaulatan dalam bidang politik, dan berkepribadaian dalam bidang kebudayaan.

Kekeliruan Konsep “Ekonomi Kerakyatan

Kekeliruan yang menyesatkan pendapat atau gagasan “ekonomi kerakyatan” dari kalangan elit di negeri ini adalah karena melupakan amanat dari UUD 1945 RI, bahkan kekeliruan terbesar sepanjang sejarah kenegaraan RI adalah mengamandemen UUD 1945 RI termasuk pasal 33 ayat 1, 2, 3, sehingga sistem perekonomian Indonesia tidak jelas, apalagi kalau ditanyakan dasar konstitusional dan ideologisnya sudah tidak ada dalam UUD amandemen itu. Apalagi UUD amandemen itu informasinya belum dicantumkan dalam Lembaran Berita Negara.

Dengan tidak ada dasar konstitusioanl dan idelogis ini pandangan dan gagasan “ekonomi kerakyatan” merupakan sumber dari kekeliruan yang menyesatkan dan merugikan rakyat. Seolah-olah ekonomi kerakyatan itu dapat dibangun hanya dengan menberikan kredit pada usaha-usaha kecil dan menengah. Seolah-olah ekonomi kerakyatan itu hanya perekonomian yang dikuasai rakyat dalam bidang usaha kecil dan menengah, serta sektor-sektor informal. Seolah-olah ekonomi kerakyatan itu tidak termasuk usaha-usaha besar yang dimiliki negara. Di sinilah letak kekeliruan pandangan atau gagasan mengenai ekonomi kerakyatan. Lebih tragis lagi penguasa menjual perushaan-perusahaan negara yang merupakan milik rakyat pada swasta, bahkan pada swasta asing dengan bermacam dalih. Sumber-sumber daya alam yang vital bagi kehiduapan genarasi-generasi yang akan datang terkoras habis. Teknologi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan multi nasional yang beroperasi di negeri ini mencemari lingkungan hidup yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, dan mempercepat terkorasnya sumber-sumber daya alam. Program pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi, dalam era reformasi tidak menyentuh apa yang ingin dicapai oleh reformasi itu sendiri. Materi kampanye para elit politik baik untuk kepentingan pemilu dan maupun untuk pilpres bagi penguasa yang akan datang tidak memberikan harapan bagi pulihnya krisis perekonomian Indonesia, karena berfikir sangat tidak mendasar dan hanya secara parsial yang besifat reaktif saja. Apa yang dikatakan demokrasi adalah 50 persen tambah satu. Azas musyawarah mufakat dan sistem perwakilan ditinggalkan. Masyarakat kita belum siap untuk melakukan demokrasi liberal seperti di barat, faktor pertama adalah tingkat pendidikan masyarakt kita umunya masih rendah, budaya kita tidak sesuai denga cara-cara pemilihan langsung seperti sekarang ini.

Para pajuang-pahlawan masuk penjara kolonial dan generasi berikutnya berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan. Silahkan adakah introspeksi bagi setiap kita yang ingin mengisi kemerdekaan ini dengan keadilan dan kemakmura untuk seluruh rakyat Indonesia. Semua berbicara mengenai perubahan, tetapi perubahan yang bagaimana? Jangan membuat perubahan yang hanya bersifat reaktif, tetapi buatlah perubahan yang berencana atas dasar impian bangsa ini merebut kemerdekaan

SISTEM PEREKONOMIAN

Oleh : Prof. H. Buyung Ahmad Syafei, Ph.D.
LATAR BELAKANG
Pemikiran tentang sistem perekonomian berkembang semenjak Indonesia mulai merencanakan pembangunan perekonomian bangsa. Pada periode pemerintahan Soekarno, pemikiran tersebut pernah sampai pada gagasan dan cita-cita ekonomi sosialis Indonesia. Pada zaman Suharto berkembang pemikiran sekelompok ekonom tentang perekonomian Pancasila.
Sekarang ini, pengertian sistem perekonomian menjadi tidak jelas, terbukti ada dari kalangan elit politik yang berpendapat bahwa krisis perekonomian Indonesia terjadi karena sistem perekonomian yang salah dan harus diganti, tetapi tidak dijelaskan penggantinya seperti apa.
Sebenarnya, sistem perekonomian Indonesia, dari awal sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini yang tercantum dalam UUD ’45 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3. Dalam UUD ’45 pada ayat 1 berbunyi : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan; ayat 2 : Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara; ayat 3 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.”
Dalam penjelasan UUD ’45, pasal 33 adalah dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA
Sistem perekonomian tidak lain adalah bentuk hubungan produksi, yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan siapa yang memiliki atau menguasai alat-alat produksi. Jika yang memiliki alat-alat produksi tersebut negara dan rakyat dalam organisasi koperasi, sedangkan swasta perorangan atau berbadan hukum tidak diperkenankan, maka sistem perekonomian semacam itu dinamakan sistem perekonomian sosialis, seperti Uni Soviet pada masa lampau. Jika alat-alat produksi didominasi pemilikannya dan penguasaannya oleh swasta perorangan atau badan hukum perseroan, maka dinamakan sistem perekonomian kapitalis. Jika alat-alat produksi dimiliki atau dikuasai oleh negara, masyarakat dalam organisasi koperasi, dan perusahaan swasta perorangan maupun perseroan, maka sistem perekonomian itu disebut sitem perekonomian campuran (mixed economy).
Sistem perekonomian Indonesia menurut UUD ’45 adalah sistem perekonomian campuran, di mana negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; juga bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya yang merupakan pokok kemakmuran rakyat dikuasi oleh negara.
Swasta diperkenankan untuk menguasai cabang-cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Organisasi koperasi yang mengorganisir usaha-usaha rakyat dakam semua sektor menjadi salah satu pilar penting dalam sistem perekonmian Indonesia. Jadi dalam sistem perekonomian Indonesia terdapat tiga pilar perekonomian : Perusahaan-perusahaan BUMN dan BUMD yang merupakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; organisasi-organisasi koperasi sebagai badan hukum perusahaan bagi usaha-usaha yang dimiliki rakyat banyak; perusahan-perusahaan swasta yang berusaha dalam sektor-sektor yang produktif. Antara perusahaan-perusahaan BUMN/BUMD dan organisasi-organisai koperasi, serta perusahaan-perusahaan swasta besar dan kecil harus menciptkan kerjasama berdasarkan kekeluargaan untuk mencapai suatu perekonomian nasioanal yang demokratis.
SISTEM PEREKONOMIAN DALAM PRAKTIK
Perusahaan Negara (BUMN)
Pengertian dikuasai oleh negara perlu memperoleh pengertian yang jelas, terutama dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi sekarang ini; dan di mana negara-nagara di dunia ini dituntut untuk menyetujui dan masuk dalam perdagangan bebas; menghilangkan barir-barir dalam perdagangan internasional. Penguasaan oleh negara tidak harus berarti pemilikan oleh negara, sebab BUMN/BUMD yang dimiliki negara justeru dikelola tidak efisien, selalu merugi, dan sering terlibat dalam hutang yang besar. Jadi, justeru bukan berusaha untuk kemakmuran rakyat banyak, tetapi sebaliknya membebani rakyat banyak.
Pemilikan, mungkin lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penguasaan. Pemilikan dapat diperoleh secara hukum, tetapi penguasaan adalah masalah kekuatan (forces) dan kekuasaan (power). Kekuasaan adalah hasil dari perjuangan dalam semua aspek kehiduapan berbangsa dan bernegara, terutama dalam bidang perekonomian. Kekuatan dan ketahanan dalam bidang ekonomi merupakan inti dari kekuasaan. Di sini prinsip berdikari dalam bidang ekonomi membuktikan kebenarannya. Arus globalisasi dan liberalisasi dalam investasi dan perdagangan dunia tidak akan menimbulkan masalah, jika Indonesia memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam posisi penawaran dengan pihak-pihak luar, terutama pihak asing. Keputusan privatisasi perusahaan-perusahaan BUMN memberikan suatu bukti, bahwa kita tidak punya kekuatan dan kekuasaan dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi investasi dan perdagangan.
Secara konseptual dan operasional, sebelum adanya keputusan privatisasi, seharusnya perusahaan-perusahaan BUMN perlu dinilai (appraisal) terlebih dahulu, apakah aset-asetnya masih ada dan layak untuk mendukung pencapaian tingkat produktivitas tertentu. Kemungkinan besar produktivitas aktiva sudah rendah sekali bahkan negatif akibat banyak aset yang sudah tidak layak lagi dipakai, dan pemeliaharaan asaet-aset yang ada tidak pernah dilakukan. Selain itu, keberhasilan suatu bisnis tidak hanya ditentukan oleh target finansial untuk medapatkan laba, tetapi sangat ditentukan oleh etika bisnis,yang mengndung norma-norma dan nilai-nilai moral, yang mengatur perbuatan atau perilaku manajemen dan karyawan dalam tugas mereka sehari-hari. Tampaknya ini merupakan masalah besar di Indonesia, di mana terdapat anggapan, bahwa jika milik negara merugi tidak apa-apa karena tidak langsung menyangkut kepentingan pribadi. Justeru tanggung jawab pejabat atau penguasalah untuk mencarikan jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan BUMN sekarang ini. Kalau hanya untuk menjual aset-aset BUMN tidak perlu diangkat pejabat sampai pada tingkat Menteri.
Organisasi koperasi
Organisasi koperasi di Indonesia yang diharapakan menjadi salah satu soko guru perekonomian Indonesia, karena dianggap dapat mengorganisir usaha-usaha rakyat menjadi usaha-usaha yang besar dan modern, keberadaannya timbul tenggelam; tergantung pada denyut nadi pemerintah. Peranan pemerintah dalam menghidupakan dan menggerakkan koperasi masih terlalu dominan. Koperasi didirikan seperti dipaksakan untuk turut mensukseskan rencana pembangunan pemerintah. Akibatnya, swadaya koperasi hampir tidak ada walaupun salah satu prinsipnya adalah self-help atau menolong diri sendiri. Dengan hilangnya bantuan dan fasilitas dari pemerintah, hilang pulalah organisasi koperasi.
Ini bukan berati, bahwa koperasi lebih baik dilupakan saja. Koperasi adalah by-product dari sistem ekonomi kapitalis. Perkembangan koperasi sangat tergantung pada kemajuan sistem ekonomi. Di negara-negara industri maju koperasi berkembang dengan sehat, terutama dalam bidang koperasi konsumsi.
Di negara-negara sosialis, di Uni Soviet masa lalu, koperasi konsumsi menguasai perdagangan dari daerah provinsi sampai ke daerah-daerah pedesaan, melakukan pengadaan terhadap semua hasil-hasil pertanian.
Di negara-negara sedang berkembang yang pembangunan perekonomiannya berhasil : koperasi pemasaran, koperasi kredit, dan koperasi pemasaran cukup berhasil.
Di Indonesia, pada periode orba koperasi unit desa (KUD) berkembang sesuai dengan bantuan dan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan jatuhnya pemerintah Suharto dan dalam krisis ekonomi, koperasi mengalami kemunduran lagi.
Jadi ada keterkaitan yang erat antara kemajuan koperasi dengan kemajuan perekonomian sesuatu bangsa. Koperasi adalah sub sistem dan by-product dari suatu sistem perekonomian. Koperasi akan berkembang kalau perekonomian maju, koperasi tidak dapat bekembang di luar sistem perekonomian yang ada.


Perusahaan Swasta
Dalam sistem perekonomian Indonesia, UUD ’45 menjadi landasan konstitusional bagi perusahaan-perusahaan swasta. Perusahan-perusahaan swasta, terutama swasta nasional diharapkan bergerak dalam cabang-cabang ekonomi produktif, yang menciptakan productive-employment bagi masa tenaga kerja, sumber pendapatan masyarakat, dan ikut membangun perekonomian nasional- demokrasi.
Kenyataan yang ada, perusahan-perusahan swasta belum tumbuh dan berkembang seperti yang diharapakan sebagai salah satu soko guru perekonomian Indonesia. Perusahan-perusahaan besar, yang sering dikenal dengan perusahaan-perusahaan konglemerat pada periode orba, berjatuhan setelah pemerintahan Suharto jatuh.
Ternyata besarnya perusahaan belum menggambarkan suatu kekuatan organisasi dan usaha-usaha mereka. Karena besarnya perusahaan sebagai hasil dari kedekatan dengan penguasa, dan masih bersifat spekulatif, bukan produktif, jadi besar yang rapuh.
PEMERINTAHAN REFORMASI
Dalam periode reformasi, sistem perekonomian yang mau dijalankan tidak tergambar dalam keinginan, apalagi dalam suatu rencana pembangunan oleh pemerintah semenjak awal reformasi. Program apa yang akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara, koperasi, dan perusahaan-perusahaan swasta dalam peranannya untuk pembangunan sektor-sektor ekonomi, dan pembangunan regional tidak ada. Paradigma pembangunan hendaklah dirubah dari pendekatan sektoral dan regional menjadi pendekatan sistem dan kelembagaan ekonomi.
Untuk melaksanakan sistem perekonomian yang diamanatkan oleh UUD ’45 diperlukan suatu pemerintahan presidensiil yang kuat, yang didukung oleh seluruh kekuatan masyarakat. Dengan demikian, tugas pemerintahan reformasi, jika hendak melaksanakan sistem perekonomian berdasarkan UUD ’45 harus mampu melakukan reformasi di semua bidang kenegaraan, termasuk reformasi birokrasi. Tetapi, tanpa dukungan dan keterlibatan seluruh kekuatan rakyat akan sukar melaksanakan semua rencana dan program reformasi, siapapun yang menjadi penguasa.

EKONOMI KERAKYATAN’ DENGAN BAHASA RAKYAT

Oleh : Prof. H. Buyung Ahmad Syafei, Ph.D

Latar Belakang

Dalam musim pemilu, pilkada, pilpres sekarang ini para politisi ramai berkampanye untuk merebut simpati rakyat, tetapi dengan menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak difahami oleh rakyat. Berkomunikasi dengan rakyat dengan menggunakan bahasa politisi atau bahasa akademisi dengan kata-kata jargon tidak akan dipahami oleh rakyat. Rakyat tidak akan mengerti apa itu “ekonomi kerakyatan”, “ekonomi neo-libral”, “pertumbuhan ekonomi”, dan istilah-istilah lainnya.

Jangankan rakyat pada umumnya, para politisi dan akademisi sendiri belum tentu mempunyai pemahaman yang sama terhadap istilah-istilah tersebut. Jangankan para politisi, di kalangan ekonom sendiri belum tentu mempuyai pemahaman yang sama tentang istilah-istilah ekonomi seperti : sistem perekonomian, ekonomi neo-libral, pertumbuhan ekonomi dengan metode perhitungannya, pembangunan ekonomi dengan indikator-indikatornya, pengertian inflasi, dan lain-lain. Kalau ada pemahaman yang sama tentu tidak mungkin adanya bantah-membantah, keculai memang ada kepentingan-kepentingan tertentu yang tersembunyi.

Ekonomi Kerakyatan

Untuk memepermudah pemahaman rakyat tentang ekonomi kerakyatan perlu dijabarkan ke dalam ciri-ciri ekonomi kerakyatan, dan apa bedanya dengan ekonomi neo-libral atau neo-libralisme. Juga apa keuntungan rakyat dengan ekonomi kerakyatan, atau apa kerugiaan rakyat dengan ekonomi neo-libral. Saya yakin, kelompok rakyat yang tedidikpun, apalagi rakyat awam tidak memahami pengertian-pengertian itu.

Pengertian ekonomi kerakyatan itu, mungkin suatu faham yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat baik sebagai tenaga produktif yang memerlukan lapangan pekerjaan, sebagai pengusaha, maupun sebagai konsumen. Kalau pengertian ekonomi kerakyatan seperti itu, maka tidak terbatas pada usaha-usaha rakyat seperti UKM saja dengan organisasi koperasi dan non-koperasi, tetapi termasuk perusahaan-perusahaan swasta nasional dengan skala besar, termasuk perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia, , untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya atau yang dikenal dengan Social Corporate Responsibility (SCR), dan perusahan-perusahaan yang dikuasai Negara. Msalahnya, bagaimana para penguasa jnegara, dapat membawa semua perusahaan-perusahaan ini kepada kepentingan rakyat.

Pengertian seperti ini sudah tercantum dalam UUD ’45 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3; tinggal penjabarannya dalam cirri-ciri atau indikator-indikatornya, yang mudah dimengerti oleh rakyat yang paling awam sekalipun. Ini adalah tugas dari para pakar yang ada dalam partai-partai politik yang menggagas konsep ekonomi kerakyatan.

Membangun UKM, misalnya, sebagai sektor ekonomi yang langsung dimiliki oleh rakyat, tidaklah sederhana, tidak cukup hanya dengan menjamin kredit untuk usaha-usaha mereka. Masalah pemasaran, produksi dengan standar kualitas export, semangat kewirausahaan, organisasi koperasi atau non-koperasi, manajemen, ketrampilan, adalah masalah-masalah yang tidak mudah diatasi dalam praktirk bisnis. Semua ini tidak mungkin diatasi tanpa bantuan dan fasilitas dari negara baik dalam peraturan perundangan, finansial, SDM yang berkualitas.

Kewirausahaan, yang harus dimilki oleh UKM, bukanlah mendirikan perusahaan kecil yang dikelola sendiri dengan modal sendiri. Kewirausahaan adalah kemampuan untuk mneningkatkan sumber- sumber daya yang tidak produktif menjadi produktif, dan ada peluang pasar yang besar, dilakukan dengan kreatif, inovatif dan keperibadian tertentu.

Manajemen dalam UKM dapat dilakukan dengan mengorganisasi diri dalam bentuk organisasi koperasi atau non-koperasi, yang merupakan suatu organisasi modern, dikelola secara modern. UKM dalam bentuk perusahaan perorangan tidak akan kuat dalam menghadapi persaingan global.

Lapangan pekerjaan diciptakan di semua sektor ekonomi, terutama oleh UKM harus menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif agar dapat menyumbang pada penciptaan lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian, apa yang tercantum dalam UUD’45 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 itulah yang seharusnya dijadikan dasar ekonomi kerakyatan, jika mampu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak.

Bahasa Rakyat Bahasa Kebenaran

Bahasa rakyat adalah sangat sederhana dan menunjukkan suatu fakta bahkan suatu kebenaran (tidak semua fakta suatu kebenaran). Rakyat mengerti bahasa yang menyentuh kebutuhan kehidupan mereka sehari-hari seperti : tersedianya lapangan pekerjaan yang mudah dimasuki mereka atau oleh anak-anak mereka, penghasilan dapat menjamin kehidupan minimum mereka, pendidikan untuk anak-anak mereka terjamin, kalau bisa tidak membayar, kalau sakit dapat berobat ke rumah sakit dengan juga tidak membayar. Semua kebutuhan ini secara umum dikenal dengan kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs), seperti : makanan, pakaian, perlindungan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, lapangan pekerjaan, upah yang adil, bebas rasa takut pada kehidupan masa depan.

Tetapi, kalau para politisi menggunakan bahasa rakyat dalam berkampanye, akan terlalu cepat terbukti kebohongannya. Beberpa cagub dan cabup dalam pilkada di beberpa daerah menjanjikan pendidikan gratis dan kesehatan gratis, yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan dalam sistem dan kondisi perekonomian di Indonesia seperti sekarang ini.

Perjuangan untuk kebutuhan dasar rakyat adalah perjuangan jangka panjang, tidak mungkin dapat dicapai dengan satu-dua periode jabatan bupati, gubernur, dan presiden. Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah suatu perjuangan untuk kesejahteraan, yang membutuhkan perubahan-perubahan mendasar sendi-sendi perekonomian yang menghamabat. Keinginan seperti ini membutuhkan pemimpin yang punya roh kepemimpinan yang berani mengorbnkan dirinya untuk kepentingan rakyat. Pemimpin seperti itu sulit dicari pada zaman sekarang ini, tidak seperti para pemimpin tempoh dulu, selain sebagai pahlawan pejuang punya roh yang suci, yang lebih baik masuk penjara kolonial daripada berhenti berjuang untuk kemerdekaan.

Sekarang ini kehidupan sudah berubah, semakin pragmatis; tujuan perjuangan semakin abstrak menyangkut masalah-masalah ekonomi, kemanusiaan dan lingkungannya, yang kadang-kadang baik aktivitas maupun hasilnya tidak mudah untuk diukur secara kuantitatif maupun kulitatif.

Namun demikian, tidak berarti tidak ada yang dapat diperbuat oleh pemimpin sekarang, melainkan banyak hal-hal yang dapat diperbuat agar keinginan-keinginan para pemimpin dapat diwujudkan sesuai dengan keinginan-keinginan rakyat, khususnya tentang konsep ekonomi kerakyatan ini. Masalahnya, terletak pada bagaimana menjabarkannya dalam cirri-ciri atau indikator-idikator serta sasaran-sasaran yang konkrit agar dapat dilaksnakan dan dapat diukur kinerjanya, bahkan dalam jangka pendek. Semoga pemimpin-pemimpin yang memikirkan ekonomi kerkyatan ini berhasil dan mendapat Ridho dari Allah SWT.

Ekonomi Kerakyatan

Pengertian Ekonomi Kerakyatan:

Ekonomi kerakyatan adalah identik dengan Ekonomi Pancasila, yaitu ekonomi yang digerakkan berdasarkan prinsip optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya teknologi, sumber daya permodalan, sumber daya manusia (pelaksana dan pakar) yang ada untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak.


Perbedaan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Liberal:

A. Ekonomi Liberal

Ekonomi Liberal atau dikenal dengan sebutan Ekonomi Pasar Bebas merupakan pembangunan ekonomi yang sebesar-besarnya ditentukan oleh mekanisme pasar bebas.

Keunggulan Ekonomi Liberal adalah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapapun untuk masuk dalam mekanisme pasar tersebut.

Kelemahan Ekonomi Liberal adalah penguasaan pasar oleh para pemilik modal besar dan menghancurkan pemilik modal kecil, sehingga pemodal kecil tidak mampu masuk dalam mekanisme pasar bebas tersebut. Selain itu akan berakibat kesenjangan yang sangat lebar antara si Kaya dengan si Miskin yang berakibat terjadinya kecemburuan ekonomi yang mengarah kepada kecemburuan sosial dan penghancuran sistem ekonmi itu sendiri.

Ekonomi Liberal ataupun perubahannya yang disebut Ekonomi Neoliberal lebih memihak kepada kepentingan pemilik modal besar dan kurang berpihak kepada rakyat banyak. Bahkan lebih lanjut, pemerintahan yang menerapkan prinsip ini akan diintimidasi para pemilik modal besar sehingga mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Pemerintah yang menerapkan prinsip ini biasanya tergolong pemerintah yang lemah.



B. Ekonomi Kerakyatan

Ekonomi Kerakyatan memerlukan peran aktif pemerintah untuk mengatur agar pemanfaatan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak, sehingga akan memberikan kesempatan yang sama dalam menikmati hasil kekayaan alam yang dimiliki bersama tersebut.

Keunggulan Ekonomi Kerakyatan adalah: (1) terlindunginya rakyat banyak dari persaingan yang tidak seimbang dengan para pemilik modal besar, (2) lebih mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, (3) memperkecil kesenjangan antara si Kaya dengan si Miskin, dan (4) menciptakan hubungan sinergis antara Pemilik Modal Besar dengan Masyarakat banyak sebagai mitra kerjanya.

Kelemahan Ekonomi Kerakyatan adalah kurang diminati para pemilik modal besar karena keuntungan mereka perlu berbagi yang lebih proporsional dengan masyarakat banyak.

Pemerintahan yang menerapkan prinsip ini memerlukan sosok Pemimpin yang pemberani, tegas, kuat dan visioner. Pemimpin seperti ini berkemampuan untuk menghimpun para pemilik modal besar yang mau berbagi keuntungan secara proporsional untuk kepentingan rakyat banyak dengan prinsip sinergi antara pemilik modal tersebut dan rakyat banyak. Pemerintahan yang menerapkan prinsip ini merupakan pemerintahan yang berpihak kepada rakyat banyak, sehingga lebih mensejahterakan rakyat banyak.


Prinsip Ekonomi seperti apakah yang sesuai untuk Indonesia?

Negara sedang berkembang (developing contry) seperti Indonesia sangat sesuai menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan. Prinsip ini sejalan dengan amanat para pejuang dan pendahulu / pelopor negeri ini yang dituangkan mereka dalam UUD 1945.


Mengapa kita sebaiknya menerapkan Ekonomi Kerakyatan ini?

Negara Indonesia saat ini rakyatnya hampir separuh dalam kondisi miskin seperti yang diungkapkan World Bank, yaitu jumlah rakyat miskin di Indonesia sebesar 115 juta orang pada tahun 2008 (Prabowo, 2009), jumlah ini sangat banyak dan berpotensi memicu permasalahan kecemburuan ekonomi dan sosial. Jumlah rakyat miskin yang banyak tersebut memerlukan peran yang lebih aktif dari pemerintah dalam menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan sekaligus peran dalam mensejahterakan mereka. Apabila pemerintah menerapkan sistem ekonomi liberal akan menyebabkan kesempatan bersaing yang seimbang makin tertutup sehingga akan memperbesar jumlah masyarakan miskin, selain memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, apabila pemerintah memilih menerapkan ekonomi kerakyatan, akan membuka kesempatan yang lebih banyak kepada masyarakat kecil untuk turut berpartisipasi seluas-luasnya dalam pembangunan ekonomi tersebut, sehingga memperbesar kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan yang lebih layak dan menjadi lebih sejahtera. Peran aktif pemerintah dalam ekonomi kerakyatan akan melindungi dan memberi kesempatan yang seimbang untuk masyarakat banyak. Hal ini mencirikan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat kecil.


sumber: http://ekonomiprorakyat.blogspot.com/

Beberapa Ciri Ekonomi Kerakyatan

Ekonomi kerakyatan dicirikan dari keberpihakan terhadap kepentingan rakyat banyak. Pemanfaatan sebesar-besarnya sumber daya alam, sumber daya teknologi, sumber daya pemodalan, dan sumber daya manusia untuk kesejahteraan rakyat keseluruhan.


Pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat diindikasikan dari beberapa ciri berikut:

(1) Alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) minimal 51% untuk program dan kegiatan yang mensejahterakan rakyat banyak.

(2) Keuntungan yang diperoleh negara dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) minimal 51% dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat banyak.

(3) Distribusi dana tersebut menyebar kesetiap desa di seluruh wilayah NKRI dengan variasi antar desa tidak lebih dari 10%.

(4) Mulai dialokasikan anggaran khusus untuk mengantisipasi peningkatan resiko gagal para petani akibat climate change yang mulai terjadi saat ini dengan terdistribusi keseluruh desa di Indonesia berupa Jaminan Keberhasilan Berusaha.

(5) Peningkatan proporsi Jaminan Sosial kepada Manula, Anjal, Orang Cacat, Pengemis, Gelandangan, Pemulung dan tenaga kerja yang belum mendapat kesempatan bekerja.

(6) Menerapkan pemberdayaan partisipatif yang lebih intensif.

(7) Luasan kepemilikan lahan untuk rakyat keseluruhan dengan variasi tidak lebih dari 10%.

Ciri-ciri diatas yang terangkup dalam suatu pembangunan ekonomi menjadikan pembangunan ekonomi tersebut disebut sebagai pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat atau disebut juga Ekonomi Kerakyatan.

Ciri lebih lanjut dari penerapan pembangunan ekonomi kerakyatan adalah rendahnya prosentase masyarakat yang tergolong miskin atau berpendapatan kurang dari $ 2 per hari, yaitu nilai prosentase masyarakat miskinnya kurang dari 5%.

sumber: http://ekonomiprorakyat.blogspot.com/

Rabu, 11 Mei 2011

TANGGUNG JAWAB AKUNTAN PUBLIK DALAM PENCEGAHAN & PENDETEKSIAN KECURANGAN PELAPORAN KEUANGAN

TANGGUNG JAWAB AKUNTAN PUBLIK DALAM PENCEGAHAN & PENDETEKSIAN KECURANGAN PELAPORAN KEUANGAN

(Artikel ini telah dimuat di Majalah AKUNTAN INDONESIA, Edisi No.6/Tahun II/Maret 2008, pada Rubrik “OPINI”, Hlm.36-40, ISSN : 1978-7537)

Oleh : Muh. Arief Effendi,SE,MSi,Ak,QIA *)

A. Pendahuluan

Kecurangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting) dapat didefinisikan suatu perilaku yang disengaja, baik dengan tindakan atau penghapusan, yang menghasilkan laporan keuangan yang menyesatkan (bias). Fraudulent financial reporting merupakan problem yang dapat terjadi di perusahaan mana saja dan kapan saja. Fraudulent financial reporting yang terjadi pada suatu perusahaan memerlukan perhatian khusus dari akuntan publik (auditor independen).

Pengertian Fraudulent financial reporting menurut Arens (2005 : 310) adalah sebagai berikut :

Fraudulent financial reporting is an intentional misstatement or omission of amounts or disclosure with the intent to deceive users. Most cases of fraudulent financial reporting involve the intentional misstatement of amounts not disclosures. For example, worldcom is reported to have capitalized as fixed asset, billions dollars that should have been expensed. Omission of amounts are less common, but a company can overstate income by omittingaccount payable and other liabilities.Although less frequent, several notable cases of fraudulent financial reporting involved adequate disclosure. For example, a central issue in the enron case was whether the company had adequately disclosed obligations to affiliates known as specialm purpose entities.

B. Penyebab Fraudulent Financial Reporting

Menurut Ferdian & Na’im (2006), kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan yang disajikan berikut ini :

1. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan.

2. Representasi yang dalam atau penghilangan dari laporan keuangan, peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan.

3. Salah penerapan secara senngaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian atau pengungkapan.

Fraudulent financial reporting juga dapat disebabkan adanya kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik. Salah satu upaya untuk mencegah timbulnya kolusi tersebut, yaitu perlunya perputaran (rotasi) akuntan publik dalam melakukan general audit suatu perusahaan.

Carcello (2004) dalam artikelnya yang berjudul Audit firm tenure and fraudulent financial reporting ”, menyatakan :

The Sarbanes-Oxley Act (U.S. House of Representatives 2002) required the U.S. Comptroller General to study the potential effects of requiring mandatory audit firm rotation. The U.S. General Accounting Office (GAO) concludes in its recently released study of mandatory audit firm rotation that “mandatory audit firm rotation may not be the most efficient way to strengthen auditor independence” (GAO 2003, Highlights). However, the GAO also suggests that mandatory audit firm rotation could be necessary if the Sarbanes-Oxley Act’s requirements do not lead to improved audit quality (GAO 2003, 5).

Berdasarkan hasil penelitian COSO (1999) yang berjudul “Fraudulent Financial Reporting : 1987 – 1997, An Analysis of U.S. Public Company”, atas perusahaan yang listing di Securities Exchange Commission (SEC) selama periode Januari 1987 s.d. Desember 1997 ( 11 tahun) dapat disimpulkan bahwa teridentifikasi sejumlah 300 perusahaan yang terdapat fraudulent financial reporting. Hasil analisa perusahaan yang terkategori fraudulent financial reporting memiliki karakteristik yaitu mengalami permasalahan bidang keuangan (experiencing financial distress), lax oversight dan terdapat fraud dengan jumah uang yang besar (Ongoing, large-dollar frauds). Beberapa perusahaan yang termasuk kasus / skandal Fraudulent Financial Reporting antara lain Enron, Tyco, Adelphia dan WorldCom.

C. Tanggung Jawab Akuntan Publik (Auditor Independen)

1. Statement Auditing Standards

Beberapa Statements on Auditing Standards (SAS) yang dikeluarkan oleh Auditing Standards Board (ASB) di Amerika Serikat yang cukup penting adalah :

a. SAS No. 53 tentang “The Auditor’s Responsibility to Detect and Report Errors and Irregularities,” yaitu mengatur tanggung jawab auditor untuk mendeteksi dan melaporkan adanya kesalahan (error) dan ketidakberesan (irregularities).

b. SAS No. 55 tentang “Consideration of Internal Control in a Financial Statement Audit,” yang merubah tanggung jawab auditor mengenai internal control. Statement yang baru ini meminta agar auditor untuk merancang pemahaman tentang pengendalian intern yang memadai (internal control sufficient) dalam merencanakan audit. SAS No. 55 kemudian diperbaharui dengan diterbitkan SAS No. 78 pada tahun 1997, dengan mencantumkan definisi ulang pengendalian intern (redefined internal control) dengan memasukkan dua komponen yaitu lingkungan pengendalian (control environment) dan penilaian risiko (risk assessment) yang merupakan usulan dari the Treadway Commission.

c. SAS No. 61 mengatur tentang komunikasi antara auditor dengan komite audit perusahaan (Communication with Audit Committees). Auditor harus mengkomunikasikan dengan komite audit atas beberapa temuan audit yang penting, misalnya kebijakan akuntansi (accounting policy) perusahaan yang signifikan, judgments, estimasi akuntansi (accounting estimates), dan ketidaksepakatan manajemen dengan auditor.

d. SAS No. 82 “Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit” dikeluarkan ASB pada Februari 1997. SAS no. 82 menyatakan bahwa auditor harus bertanggung jawab untuk mendeteksi dan melaporkan adanya kecurangan (fraud) yang terjadi dalam laporan keuangan yang disusun oleh manajemen. Selaij itu, SAS no. 82 juga menyatakan bahwa setiap melakukan audit auditor harus menilai risiko (assessment of risk) kemungkinan terdapat salah saji material (material misstatement) pada laporan keuangan yang disebabkan oleh fraud.

e. SAS No. 99 Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit” merupakan revisi dari SAS No. 82 dan mulai diberlakukan efektif untuk audit laporan keuangan setelah tanggal 15 Desember 2002, penerapan lebih awal sangat dianjurkan. Auditor bertanggungjawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan (error) maupun kecurangan (fraud).

Pengaruh SAS No. 99 terhadap tanggung jawab auditor antara lain :

Ø Tidak ada perubahan atas tanggung jawab auditor untuk mendeteksi fraud atas audit laporan keuangan.

Ø Tidak ada perubahan atas kewajiban auditor untuk mengkomunikasikan temuan atas fraud.

Ø Terdapat perubahan penting terhadap prosedur audit (audit procedure) serta dokumentasi yang harus dilakukan oleh auditor atas audit laporan keuangan.

Dua tipe salah saji (misstatements) yang relevan dengan tanggung jawab auditor, yaitu salah saji yang diakibatkan oleh fraudulent financial reporting dan salah saji yang diakibatkan oleh penyalahgunaan asset (misappropriation of assets).SAS No. 99 juga menegaskan agar auditor independen memiliki integritas (integrity) serta menggunakan kemahiran professional (professional skepticism) melalui penilaian secara kritis (critical assessment) terhadap bukti audit (audit evidence) yang dikumpulkan.

f. SAS No. 110 “Fraud & Error” dinyatakan bahwa auditor harus dapat mendeteksi terhadap kesalahan material (material mistatement) dalam laporan keuangan yang ditimbulkan oleh kecurangan atau kesalahan (fraud or error). SAS 110 , paragraf 14 & 18 berbunyi sbb. :

Auditors plan, perform and evaluate their audit work in order to have a reasonable expectation of detecting material misstatements in the financial statements arising from error or fraud. However, an audit cannot be expected to detect all errors or instances of fraudulent or dishonest conduct. The likelihood of detecting errors is higher than that of detecting fraud, since fraud is usually accompanied by acts specifically designed to conceal its existence…

2. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

Profesi akuntan publik (auditor independen) memiliki tangggung jawab yang sangat besar dalam mengemban kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat (publik). Terdapat 3 (tiga) tanggung jawab akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu :

  1. Tanggung jawab moral (moral responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab moral untuk :

1). Memberi informasi secara lengkap dan jujur mengenai perusahaan yang diaudit kepada pihak yng berwenang atas informasi tersebut, walaupun tidak ada sanksi terhadap tindakannya.

2). Mengambil keputusan yang bijaksana dan obyektif (objective) dengan kemahiran profesional (due professional care).

  1. Tanggung jawab profesional (professional responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab profesional terhadap asosiasi profesi yang mewadahinya (rule professional conduct).

  1. Tanggung jawab hukum (legal responsibility).

Akuntan publik harus memiliki tanggung jawab diluar batas standar profesinya yaitu tanggung jawab terkait dengan hukum yang berlaku.Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Standar Auditing Seksi 110, mengatur tentang “Tanggung Jawab dan Fungsi Auditor Independen”. Pada paragraf 2, standar tersebut antara lain dinyatakan bahwa auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak. Bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.

D. Pencegahan & Pendeteksian Fraud

Fraudulent financial reporting di suatu perusahaan merupakan hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua pihak yang mendasarkan keputusannya atas informasi dalam laporan keuangan (financial statement) tersebut. Oleh karena itu akuntan publik harus bisa menccegah dan mendeteksi lebih dini agar tidak terjadi fraud. Untuk mengetahui adanya fraud, biasanya ditunjukkan oleh timbulnya gejala-gejala (symptoms) berupa red flag (fraud indicators), misalnya perilaku tidak etis manajemen. Red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan (fraud) yang terjadi.

Hasil penelitian Wilopo (2006) membuktikan serta mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi dapat diturunkan dengan meningkatkan kefektifan pengendalian internal, ketaatan aturan akuntansi, moralitas manajemen, serta menghilangkan asimetri informasi. Hasil penelitian Wilopo tersebut juga menunjukkan bahwa dalam upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi memerlukan usaha yang menyeluruh, tidak secara partial. Menurut Wilopo, upaya menghilangkan perilaku tidak etis manajemen dan kecenderungan kecurangan akuntansi, antara lain :

Ø Mengefektifkan pengendalian internal, termasuk penegakan hukum.

Ø Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian.

Ø Pelaksanaan good governance.

Ø Memperbaiki moral dari pengelola perusahaan, yang diwujudkan dengan mengembangkan sikap komitmen terhadap perusahaan, negara dan masyarakat.

The National Commission On Fraudulent Financial Reporting (The Treadway Commission) merekomendasikan 4 (empat) tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya fraudulent financial reporting, yaitu :

1. Membentuk lingkungan organisasi yang memberikan kontribusi terhadap integritas proses pelaporan keuangan(financial reporting).

2. Mengidentifikasi dan memahami faktor- faktor yang mengarah ke fraudulent financial reporting.

3. Menilai resiko fraudulent financial reporting di dalam perusahaan.

4. Mendisain dan mengimplementasikan internal control yang memadai untuk financial reporting.

Mulfrod & Comiskey (2002) menulis buku terkait dengan creative accounting yang berjudul “The Financial Numbers Game : Detecting Creative Accounting Practices”. Buku tersebut meskipun lebih difokuskan bagi para investor sebagai pembelajaran untuk mengetahui secara cepat adanya kecurangan akuntansi (fraudulent accounting), namun perlu diketahui juga oleh auditor.

Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya risiko terdapat fraudulent financial reporting di perusahaan, antara lain :

Ø Terdapat kelemahan dalam pengendalian intern (internal control).

Ø Perusahaan tidak memiliki komite audit.

Ø Terdapat hubungan kekeluargaan (family relationship) antara manajemen (Director) dengan karyawan perusahaan.

Klasifikasi dari Creative Accounting Practices menurut Mulfrod & Comiskey, terdiri dari :

Ø Pengakuan pendapatan fiktif (recognizing Premature or Ficticious Revenue).

Ø Kapitalisasi yang agresif dan Kebijakan amortisasi yang terlalu lebar (Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies).

Ø Pelaporan keliru atas Aktiva & Utang (Misreported Assets and Liabilities).

Ø Perekayasaan Laporan Laba Rugi (Creative with the Income Statement).

Ø Timbul masalah atas pelaporan Arus Kas (Problems with Cash-flow Reporting).

Menurut laporan dari The National Commission on Fraudulent Financial Reporting, pencegahan (prevention) dan pendeteksian (detection) awal atas fraudulent financial reporting harus dimulai saat penyiapan laporan keuangan.

Rezaee (2002), dalam bukunya yang berjudul “Financial Statement Fraud: Prevention and Detection”, membahas cukup mendalam tentang teknik untuk mencegah dan mendeteksi adanya fraud dalam laporan keuangan. Dalam buku tersebut dijelaskan kasus kolapsnya enron di Amerika Serikat, yang menghebohkan kalangan dunia usaha secara jelas dan lengkap, termasuk adanya praktek kolusi.

Salah satu cara untuk mencegah timbulnya fraud yang diakibatkan kolusi antara manajemen perusahaan dengan akuntan publik adalah pengaturan rotasi auditor (akuntan publik). Sesuai Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK. 06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik tertanggal 21 Agustus 2003, telah diatur tentang pembatasan dan rotasi terhadap akuntan publik. Pasal 6 ayat 4 Kepmenkeu tersebut dinyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama untuk lima tahun buku berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun berturut-turut.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi perlu menyelenggarakan suatu lokakarya (workshop) tentang fraudulent financial reporting atau fraud in financial statement untuk para akuntan publik agar terdapat pemahaman yang sama, sehingga dapat dilakukan pencegahan serta pendeteksian secara dini kemungkinan terjadinya fraud di perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar akuntan publik dapat berhasil mendeteksi adanya fraud, sehingga dapat dihindarkan akuntan publik gagal mendeteksi terjadinya fraud yang sangat merugikan berbagai pihak.

E. Simpulan

1. Fraudulent financial reporting dapat terjadi kapan saja dan di perusahaan mana saja. Menurut SAS No. 99 dan SPAP, akuntan publik (auditor independen) bertanggung jawab untuk mendeteksi adanya kecurangan (fraud) dalam general audit atas laporan keuangan perusahaan.

2. Fraud merupakan problem yang serius, maka auditor harus mengambil langkah-langkah komprehensif dalam pencegahan dan pendeteksian fraudulent financial reporting. Pemahaman atas fraudulent financial reporting di kalangan akuntan publik sangat penting, agar lebih dini bisa dilakukan pencegahan dan pendeteksian terhadap fraud. Oleh karena itu, IAI perlu menyelenggarakan suatu lokakarya (workshop) tentang fraudulent financial reporting.

3. Fraud juga dapat terjadi adanya kolusi antara akuntan publik dengan manajemen suatu perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan rotasi akuntan publik dalam melakukan audit di perusahaan serta pengawasan yang ketat dari pihak yang berwenang (regulator).

Referensi

1. Accounting Standard Board (ASB). SAS No. 99 Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit”. 2002.

2. Arens, Alvin A., Randal J. Elder & Mark S. Beasley. Auditing & Assurance Services An Integrated Approach. 10th Edition. Prentice Education International. 2005.

3. Carcello, Joseph V. ”Audit Firm Tenure and Fraudulent Financial Reporting .” Auditing : A Journal of Practice & theory. September 2004.

4. Ferdian, Riki & Ainun Na’im. “ Pengaruh Problem- Based Learning (PBL) pada Pengetahuan Tentang Kekeliruan & Kecurangan (Error & Irregularities)”. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 9. Padang, 23 -26 Agustus 2006.

5. Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Profesional Akuntan Publik, Salemba Empat. Jakarta. 2001.

6. Keputusan Menkeu (KMK) No. 359/KMK. 06/2003 tentang perubahan KMK No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik tertanggal 21 Agustus 2003.

7. Mulford, Charles W. & Comiskey , Eugene E. The Financial Numbers Game : Detecting Creative Accounting Practices. John Wiley & Sons. January 2002.

8. Rezaee, Zabihollah. Financial Statement Fraud : Prevention and Detection. John Wiley & Sons. August 2002.

9. Wilopo. ”Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi : Studi pada Perusahaan Publik dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia”. Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 9. Padang, 23 – 26 Agustus 2006.

*) Penulis bekerja sebagai Internal Auditor sebuah BUMN (PT. Krakatau Steel) dan Dosen Luar Biasa (Tidak Tetap) pada beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta ( FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti, FE Universitas Mercu Buana dan Program MAKSI Universitas Budi luhur).

CATATAN :

Artikel ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari makalah (paper) penulis yang berjudul “Fraudulent Financial Reporting : Tanggung Jawab Auditor Independen”.