Minggu, 17 April 2011

pemberdayaan ekonomi

PEMBERDAYAAN EKONOMI

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum memasuki masa krisis moneter, berkembang pesat dan patut dibanggakan. Pendapatan per kapita pada saat itu meningkat menjadi dua kali lipat antara 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh kebijakan moneter yang stabil, yaitu dengan tingkat inflasi yang rendah, tingkat bunga yang rendah, tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, APBN yang berimbang, kebijakan ekspor yang terdiversifikasi, kebijakan neraca modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun keluar. Kesuksesan ini menimbulkan suatu optimisme yang luar biasa, tetapi di pihak lain, terdapat keteledoran yang tidak tanggung-tanggung.

Kesuksesan pembangunan ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditur luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan tanpa meneliti proyek-proyek yang dibeli kredit itu.

Keteledoran ini juga terjadi di dalam negeri. Kegiatan—kegiatan ekonomi dan para pelakunya belangsung tanpa adanya pengawasan yang ketat.

Didorong oleh keteledoran-ketelodaran pemerintah Indonesia dalam menggerakkan perekonomian, didorong bertumbuh di atas kemampuannya sendiri. Dan pertumbuhan ini ambruk ketika munculnya kebijakan Thailand pada July 1997 untuk mengembangkan mata uang Thailand “bath” terhadap dolar US. Selama itu mata uang bath dan dolar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari “bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata uang-mata uang negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.

Pada September 1997 rupiah telah terdevaluasi 30% sejak Juli 1997. Pada Juli 1998 dalam setahun rupiah sudah terdevaluasi sebesar 90%, yang diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar 4,9% pada tahun sebelumnya (1997) atau jatuh sebesar 18,6% dalam setahun.

Utang pemerintah resmi negara turun dari USD 80 miliar menjadi USD 50 miliar pada akhir tahun 1996, sementara utang swasta membubung dengan cepatnya. Jika pada tahun 1996 utang swasta masih berada pada tingkat USD 15 miliar, maka pada akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD 65 miliar – USD 75 miliar.

Pemberdayaan Ekonomi

Persoalan kemiskinan saat ini sudah menjadi persoalan yang sangat kompleks yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin telah mencapai angka 34.146 juta jiwa atau sekitar 16,66% dari total jumlah penduduk Indonesia. Berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat miskin antara lain bersumber dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan masyarakat menghadapi persaingan usaha, konflik, dan tindak kekerasan, lemahnya masalah kependudukan, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, dan juga kesempatan pembangunan yang menyebabkan masih banyaknya wilayah yang dikategorikan tertinggal dan bahkan terisolasi. Selain itu masalah kemiskinan juga memiliki spesifikasi yang berbeda antar wilayah perdesaan, perkotaan serta permasalahan khusus di wilayah pesisir dan kawasan tertinggal.

Masalah kemiskinan di Indonesia juga ditandai dengan rendahnya mutu kehidupan masyarakat, yang diindikasikan oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). IPM dan IKM mempunyai komponen yang sama, yaitu angka harapan hidup (tingkat kesehatan), penguasaan ilmu pengetahuan (tingkat pendidikan) dan standar kehidupan yang layak (tingkat ekonomi), Pada IPM standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita, sementara IKM diukur dengan persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih, fasilitas kesehatan dan balita kurang gizi. Pada tahun 2003 IPM Indonesia pada peringkat 112 dari 175 negara, sementara IKM pada peringkat 33 dari 94 negara.

Dalam strategi penanggulangan kemiskinan, yang patut dipahami adalah bahwa kemiskinan tidak hanya diukur sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar tersebut mencakup antara lain: pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik, baik laki-laki maupun perempuan.

Penanggulangan kemiskinan tidak terlepas dari penciptaan stabilitas ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Secara global, upaya menanggulangi kemiskinan telah memperoleh momentum dan toleransi masyarakat global. Hal ini menjadi tanggungjawab bersama, yang merupakan kewajiban moral dan menjadi amanat konstitusi dimana dalam implementasinya tidak hanya ditangani oleh pemerintah namun melibatkan seluruh elemen bangsa ini.

Pemberdayaan Ekonomi melalui Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Secara langsung atau tidak langsung, kebijakan pengembangan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja dan berusaha.

Pengembangan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) memiliki potensi yang besar dan strategis dalam rangka mengurangi kemiskinan, mengingat pertumbuhan dan aktifnya sektor riil yang dijalankan oleh KUMKM mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat, yaitu tersedianya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok KUMKM dapat menjadi penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja.

KUKM dapat diandalkan sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat di pedesaan, perkotaan bahkan di daerah tertinggal. Posisi koperasi di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah koperasi meningkat dari 130.730 unit pada tahun 2004 menjadi 138.411 unit pada tahun 2006 (meningkat sebesar 5,88%), sedangkan jumlah anggota pada tahun 2004 sebanyak 27.523.053 orang, dan tahun 2006 jumlah anggota 27.042.342 orang.

Berdasarkan data BPS, sampai dengan tahun 2005, jumlah UKM telah mencapai angka 44,63 juta unit terdiri dari 44,62 juta unit UK dan 67.765 unit UM, jumlah tersebut merupakan 99,99% dari pelaku usaha nasional. Terdapat 5 (lima) sektor dengan jumlah unit usaha terbesar yaitu: Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan jumlah 26.261.412 unit (26.259.805 UK dan 1.607 UM); Perdagangan, Hotel dan restoran sebanyak 10.197.812 unit (10.172.227 UK dan 25.585 UM); Industri Pengolahan sebanyak 2.808.949 unit (2.795.237 UK dan 13.712 UM); Pengangkutan dan Komunikasi sebanyak 2.705.849 unit (2.702.552 UK dan 3.297 UM); Jasa-jasa sebanyak 2.314.008 unit (2.307.261 UK dan 6.747 UM).

Berkaitan dengan upaya peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, beberapa kegiatan pokok yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka program memberdayakan KUMKM antara lain: penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi Koperasi dan UKM, pengembangan sistem pendukung usaha KUKM, pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif KUKM, Pemberdayaan usaha skala mikro, peningkatan kualitas kelembagaan koperasi.

Pemberdayaan Ekonomi dan Rakyat melalui Kemitraan

Ekonomi yang memiliki daya tahan adalah perekonomian yang tidak mudah terombangambing oleh gejolak yang datang, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Perekonomian tersebut, antara lain ditandai oleh tiga ciri berikut. Pertama, adanya diversifikasi kegiatan ekonomi, seperti tercermin dalam keragaman sumber mata pencaharian penduduknya, sumber penerimaan negaranya, sumber penerimaan devisa dan sebagainya. Kedua, pelaku ekonominya mempunyai keluwesan yang tinggi (flexibility) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan lingkungan usaha yang dapat berubah dengan cepat. Ketiga, kerangka kebijakan dan peraturan yang mendukung (conducive) terciptanya iklim usaha yang sehat.

Ekonomi nasional yang tangguh dan mandiri hanya mungkin dapat terwujud apabila pelaku-pelakunya tangguh dan mandiri, dan seluruh potensi masyarakat dapat dikerahkan, berarti partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. Jika kegiatan ekonomi terpusat pada kelompok yang terbatas dan di wilayah yang terbatas, maka perekonomian tidak berkembang sesuai dengan potensinya. Berarti pula sebagian masyarakat dan wilayah yang tidak terbawa dalam arus perekonomian, atau, dengan istilah lain, tertinggal.

Kemitraan usaha mengandung pengertian adanya hubungan kerja sama usaha diantara berbagai pihak yang sinergis, bersifat sukarela, dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, saling menghidupi, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Prinsip kerja sama seperti itu dapat mengatasi pembatas potensi usaha yang melekat pada satu unit usaha.

Kemitraan ada yang bersifat vertikal (antarskala usaha), yaitu antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, dan ada pula yang bersifat horisontal pada skala usaha yang sama. Namun, yang pada umumnya dimaksud dengan kemitraan adalah antarskala usaha. Ditinjau dari aspek bentuk usaha para pelakunya, kemitraan dapat terjalin antara koperasi, usaha swasta, dan BUMN.

Kemitraan usaha telah menjadi bagian strategi bisnis perusahaan terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang tidak lagi dapat mengandalkan pada strategi internalisasi aktivitas usaha melalui akuisisi dan merger dalam rangka integrasi vertikal dan horisontal.

Kemitraan usaha akan menghasilkan efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra. Selain dapat memberikan kelenturan dan kelincahan bagi usaha besar, kemitraan usaha juga dapat menjawab masalah diseconomies of scale yang sering dihadapi oleh usaha besar. Kemitraan juga memperkuat mekanisme pasar dan persaingan usaha yang efisien dan produktif sehingga dapat mengalihkan dari kecenderungan monopoli/monopsoni atau oligopoli/oligopsoni. Bagi usaha kecil kemitraan jelas menguntungkan karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan yang dikuasai oleh usaha besar. Usaha besar juga dapat mengambil keuntungan dari keluwesan dan kelincahan usaha kecil.

Kemitraan hanya dapat berlangsung secara efektif dan berkesinambungan jika kemitraan dijalankan dalam kerangka berfikir pembangunan ekonomi, dan bukan semata-mata konsep sosial yang dilandasi motif belas kasihan atau kedermawanan. Kemitraan yang dilandasi motif belas kasihan cenderung mengarah kepada inefisiensi sehingga tidak akan berkembang secara sinambung.

Sebagai suatu strategi pengembangan usaha kecil, kemitraan telah terbukti berhasil diterapkan di banyak negara, antara lain di Jepang dan empat negara macan Asia, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Di negara-negara tersebut kemitraan umumnya dilakukan melalui pola subkontrak yang memberikan peran kepada industri kecil dan menengah sebagai pemasok bahan baku dan komponen industri besar. Proses ini menciptakan keterkaitan antar usaha yang kukuh tanpa harus melakukan integrasi vertikal atau konglomerasi.

Kemitraan masih belum melembaga dalam dunia usaha nasional kita. Kemitraan yang sudah berjalan selama ini pada umumnya masih berlangsung karena ada himbauan dari pemerintah. Dalam kenyataan, kemitraan usaha yang benar-benar didasarkan pada adanya kebutuhan dan dilandasi oleh motivasi ekonomi relatif masih sedikit jumlahnya.

Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan informasi peluang kemitraan dan bantuan teknis kepada usaha kecil dalam perencanaan kemitraan dan negosiasi bisnis. Pemerintah dapat mendukung kemitraan dengan memantapkan prasarana-sarana dan memperkuat kelembagaan pendukung kemitraan antara lain dengan mengembangkan sistem dan lembaga keuangan yang efektif bagi usaha kecil. Hal ini penting mengingat akses kepada dana, khususnya kredit perbankan dengan persyaratan teknisnya, masih menjadi kendala bagi usaha kecil dalam pengembangan usahanya. Bagi usaha kecil lapisan bawah yang belum laik bank (bankable) barangkali patut dipikirkan pendekatan yang berbeda dengan cara-cara perbankan konvensional, termasuk pengembangan lembaga keuangan alternatif yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan usaha kecil. Di samping itu, patut pula dipikirkan adanya upaya khusus yang dapat membuka peluang bagi usaha kecil untuk melakukan kemitraan usaha dengan usaha besar, misalnya bagi usaha kecil yang ingin memanfaatkan peluang usaha sebagai subkontraktor usaha besar dalam program industri mobil nasional.

kemitraan merupakan salah satu instrumen yang strategis bagi pengembangan usaha kecil, tetapi ini tidak berarti bahwa semua usaha kecil bisa segera secara efektif dikembangkan melalui kemitraan. Bagi pengusaha informal atau yang sangat kecil skala usahanya dan belum memiliki dasar kewirausahaan yang memadai, kemitraan dengan usaha besar belum tentu efektif karena belum tercipta kondisi saling membutuhkan. Yang terjadi adalah usaha kecil membutuhkan usaha besar sedangkan usaha besar tidak merasa membutuhkan usaha kecil. Usaha kecil yang demikian barangkali perlu dipersiapkan terlebih dahulu, misalnya dengan memperkuat posisi transaksi melalui wadah koperasi atau kelompok usaha bersama (prakoperasi) dan pembinaan kewirausahaan.

Pemberdayaan Ekonomi dalam Islam

Menurut Ali Syari’ati (1933-1977), dua pertiga ayat-ayat al-Qur’an berisi tentang keharusan menegakkan keadilan/pemberdayaan ekonomi, dan membenci kezhaliman dengan ungkapan kata zhulm, Itsm, dhalal, dll (Majid, 1984: 10). Al-Qur’an dengan tegas mengatakan, “ Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (Qs. 59: 7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (Qs. 70: 24).

Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhanan bukanlah menjadi tujuan utama, kecuali diimbangi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah entitas yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.

Islam sudah memperhatikan masalah sosial penanggulangan kemiskinan. Adakalanya al-Qur’an merumuskannya dengan kata-kata " memberi makan dan mengajak memberi makan orang miskin" atau dengan "mengeluarkan sebahagian rezeki yang diberikan Allah", "memberikan hak orang yang meminta-meminta, miskin dan terlantar dalam perjalanan", "membayar zakat" dan rumusan lainnya. Sebab, zakat merupakan jenis ibadah yang berkaitan erat dengan harta benda. Oleh karena itu, bagi siapa saja (muslim) yang telah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah ditentukan syariat, maka dia dituntut untuk menunaikannya, bukan semata-mata atas dasar kemurahan hatinya, tapi kalau perlu ‘dipaksa’ dengan menggunakan kekuasaan (Shihab, 2002: 323-5).

Melalui zakat diharapkan dapat membantu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Pengalokasian dan pendistribusian zakat dengan benar dapat membantu masyarakat miskin dalam pemenuhan kebutuhan yang masih kekurangan. Jika pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan bernutrisi dan gizi seimbang juga bantuan beasiswa terhadap masyarakat miskin, dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Dan dengan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas dapat memasuki pasar tenaga kerja yang bersaing dan mampu mengembangkan usaha sehingga perekonomian pun dapat membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar