Keberadaan usaha kecil dan menengah (UKM) memang tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.
Saat terjadi krisis ekonomi pada 1998, UKM terbukti menjadi usaha yang masih mampu bertahan dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di tengah banyaknya usaha skala besar yang mengalami kebangkrutan.
UKM memang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Jika ditinjau dari aspek penyerapan tenaga kerja, berdasarkan data BPS, sampai akhir 2007 jumlah unit UKM mencapai 49,8 juta unit dan menyediakan lapangan kerja bagi 91,8 juta orang.
Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah. Lokasi UKM yang sebagian besar berada di daerah pedesaan juga akan berperan terhadap pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di daerah pedesaan tersebut.
Terkait signifikansi peran UKM tersebut,pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian terhadap pertumbuhan UKM ini. Walaupun demikian, UKM dalam perkembangannya masih seringkali menghadapi berbagai macam hambatan. UKM secara umum menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah nonfinansial (Sri Adiningsih, 2003).
Masalah finansial umumnya berkaitan dengan keterbatasan UKM dalam memperoleh modal untuk mengembangkan usahanya, sedangkan masalah nonfinansial umumnya berkaitan dengan keterbatasan dari sisi kemampuan manajemen misalnya dalam produksi dan promosi produk.
Terkait kendala finansial, di satu sisi sebenarnya sudah banyak pihak perbankan atau institusi lainnya yang menyediakan fasilitas peminjaman modal bagi UKM. Namun, di sisi lain masih banyak UKM yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap modal tersebut.
Dalam memberikan kredit permodalan, lembaga keuangan tentu akan selektif untuk memilih debitor yang sekiranya tidak akan mengakibatkan kredit macet. Prosedur pencairan kredit perbankan, bunga pinjaman, dan kewajiban untuk memberikan agunan seringkali menyulitkan pihak UKM yang membutuhkan suntikan modal.
Selain itu, mayoritas UKM juga tidak melakukan pengelolaan dan pencatatan keuangan dengan baik.
Padahal pengelolaan keuangan misalnya berupa laporan keuangan bisa menjadi pertimbangan kreditor dalam menilai prospektivitas UKM, apakah layak untuk mendapatkan pinjaman permodalan atau tidak.Ketidakmampuan UKM memenuhi prosedur pencairan kredit tersebut membuat UKM menjadi tidak bankable (tidak layak untuk memperoleh pinjaman dari bank).
Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil Menengah (SAK UKM) yang memang secara khusus dibuat dan diperuntukkan bagi UKM.SAK UKM tersebut dirumuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Keberadaan SAK UKM ini sejatinya bisa menjadi pedoman bagi UKM untuk pengelolaan dan pencatatan keuangannya, termasuk terkait pembuatan laporan keuangan yang baik.
Namun, keberadaan standar ini masih belum populer di kalangan UKM.Perlu ada upaya promosi dan pelatihan yang komprehensif untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan UKM sekaligus menghilangkan mindset bahwa pengelolaan keuangan merupakan sesuatu yang rumit dan tidak mudah dipelajari bagi kalangan UKM.
Jika memungkinkan, upaya ini selain melibatkan lembaga pemerintah terkait, IAI, kalangan akademisi juga sebaiknya melibatkan lembaga keuangan yang berperan sebagai kreditor bagi UKM. Dengan demikian, pentingnya pengelolaan keuangan akan ditekankan misalnya terkait pembuatan laporan keuangan UKM yang baik sehingga berguna bagi kemudahan akses kredit permodalan UKM. Dengan pelaksanaan SAK UKM yang baik, UKM akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan finansial yang selama ini ada
Sumber : http://kampus.okezone.com/read/2010/07/12/367/351883/mengatasi-hambatan-finansial-ukm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar